Masih berkaitan dengan postingan sebelumnya, Sejarah
mencatat letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Senin, 27 Agustus 1883.
Para ilmuwan menyebut kekuatannya setara dengan 100 megaton bom nuklir
atau setara 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan
Hiroshima dan Nagasaki.
Suaranya menggelegar, terdengar sampai
2.200 mil (3.500 km) sampai Australia dan 4.800 km di Kepulauan
Rodrigues dekat Mauritius. Langit gelap beberapa hari setelahnya. Dua
pertiga bagian gunung tenggelam ke dasar laut, dan menciptakan gelombang
tsunami yang menewaskan puluhan ribuan orang. Ombak pasang terpantau
sampai Selat Inggris.
Letusan Krakatau juga menciptakan fenomena
angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat
Bulan berwarna biru.
Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), beberapa partikel abu Krakatau, memiliki ukuran 1 mikron (atau satu per sejuta meter), ukuran yang tepat untuk menghamburkan warna merah, namun masih memberi peluang bagi warna lain untuk menerobos. Sinar Bulan yang bersinar putih berubah menjadi biru, kadang hijau.
Bulan berwarna biru bertahan bertahun-tahun pasca erupsi. Kala itu, tak hanya Bulan yang penampakannya berubah. Orang-orang saat itu juga menyaksikan Matahari berwarna keunguan seperti lavender. Dan untuk kali pertama kalinya, awan noctilucent, awan yang sangat tinggi, membiaskan cahaya pada senja ketika matahari telah tenggelam, mengiluminasi dan menyinari langit dengan sumber cahaya yang tak tampak.
Abu membuat senja seperti terbakar. "Orang-orang di New York, Poughkeepsie, dan New Haven sampai menghubungi pemadam kebakaran, karena terlihat seperti ada kebakaran," kata vulkanolog, Scott Rowland dari University of Hawaii.
Fenomena bulan biru juga terlihat pada 1983, setelah letusan gunung berapi El Chichon di Meksiko. Juga pasca letusan Mt. St Helens di tahun 1980 dan Gunung Pinatubo pada tahun 1991.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, mengatakan letusan dahsyat Krakatau 1883 adalah yang ke dua yang terpantau sejarah.
Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), beberapa partikel abu Krakatau, memiliki ukuran 1 mikron (atau satu per sejuta meter), ukuran yang tepat untuk menghamburkan warna merah, namun masih memberi peluang bagi warna lain untuk menerobos. Sinar Bulan yang bersinar putih berubah menjadi biru, kadang hijau.
Bulan berwarna biru bertahan bertahun-tahun pasca erupsi. Kala itu, tak hanya Bulan yang penampakannya berubah. Orang-orang saat itu juga menyaksikan Matahari berwarna keunguan seperti lavender. Dan untuk kali pertama kalinya, awan noctilucent, awan yang sangat tinggi, membiaskan cahaya pada senja ketika matahari telah tenggelam, mengiluminasi dan menyinari langit dengan sumber cahaya yang tak tampak.
Abu membuat senja seperti terbakar. "Orang-orang di New York, Poughkeepsie, dan New Haven sampai menghubungi pemadam kebakaran, karena terlihat seperti ada kebakaran," kata vulkanolog, Scott Rowland dari University of Hawaii.
Fenomena bulan biru juga terlihat pada 1983, setelah letusan gunung berapi El Chichon di Meksiko. Juga pasca letusan Mt. St Helens di tahun 1980 dan Gunung Pinatubo pada tahun 1991.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, mengatakan letusan dahsyat Krakatau 1883 adalah yang ke dua yang terpantau sejarah.
Sebelumnya,
Krakatau pernah meletus pada tahun 1416. "Neneknya Anak Krakatau yang
meletus, juga sampai menimbulkan tsunami," tambah dia.
Namun, tidak ada catatan pasti soal akibat letusan gunung yang diperkirakan setinggi 4.000 meter itu.
Pasca letusan 1883, Surono menambahkan, Krakatau lenyap. Lalu, muncullah Anak Krakatau pada tahun 1930-an. Sejak saat itu, si anak terus-menerus meletus. "Hanya pada tahun 1950-an, sedikit mengerem letusan, dua sampai empat tahun," tambah dia.
Pasca letusan 1883, Surono menambahkan, Krakatau lenyap. Lalu, muncullah Anak Krakatau pada tahun 1930-an. Sejak saat itu, si anak terus-menerus meletus. "Hanya pada tahun 1950-an, sedikit mengerem letusan, dua sampai empat tahun," tambah dia.
Hingga tahun 2005,
ketinggian Anak Krakatau terpantau sekitar 315 meter. Saat ini
aktivitas Anak Krakatau sedang tinggi, gempa vulkanis terjadi ribuan
kali setiap harinya. Namun, Surono meminta masyarakat tak panik. "Yang
meletus anaknya, bukan ibunya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar