Ajaran itulah yang
terpancar dari seberang Jalan Gatot Soebroto No 222 Solo. Di sana
berdiri dua bangunan tempat ibadah yang berbeda: Masjid Al Hikmah dan
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Dengan nomor alamat yang
sama.
Dari kejauhan, dua bangunan ibadah terlihat menonjolkan
lambang masing-masing, kubah hijau dan bulan sabit bintang, juga salib
besar yang berdiri di atap gereja. Namun, tak ada keangkuhan di sana.
Saking
dekatnya, tembok masjid dan gereja saling berdempetan. Tempat imam
masjid langsung berbatasan dengan ruang pertemuan gereja. Bahkan, di
bagian atas ruang imam tersebut dibiarkan terbuka sehingga tembok salah
satu ruangan gereja terlihat menonjol.
Menurut cerita Pendeta
Widi Atmo Herdjanto, gereja dibangun lebih dulu pada tahun 1939. Kala
itu, gereja didirikan di atas tanah milik H Zaini yang telah dibeli oleh
sejumlah umat Kristen asal Danukusuman, Solo.
Saat bangunan
gereja tersebut dibangun, para pendiri juga sudah mengetahui ihwal
rencana pembangunan mushola, yang direalisasikan tahun 1947, tepat di
sisi utara gereja.
“Mulai saat itulah kerukunan kedua umat
beragama ini terjalin, seperti halnya kedua bangunan tempat ibadah.
Perwakilan Islam maupun Kristen membangun prasasti tugu lilin sebagi
simbol kebersamaan,” ujar Pendeta Herdjanto kepada VIVAnews, Jumat, 27 Juli 2012
Prasasti
lilin yang memiliki tinggi 100 centimeter hingga kini masih tegak
berdiri, posisinya di tempat wudlu perempuan yang terletak di sebelah
selatan masjid. Tugu bercat putih tersebut menjadi sumpah janji di
antara kedua pemeluk keyakinan yang berbeda itu. Untuk hidup rukun dan
damai. Jangan sampai terjadi permusuhan dan peliharalah kedamaian
selamanya.
Mushola menjadi masjid
Dalam
perkembangannya, bangunan mushola tersebut pun berkembang menjadi
masjid. Seperti diceritakan Ketua Takmir Masjid Al Hikmah, Muhamad Nasir
Abu Bakar, sebelum merubah bangunan mushola menjadi bangunan masjid,
pihaknya terlebih dahulu juga melakukan komunikasi dengan pihak gereja.
Demikian
juga ketika ada permasalahan yang menyangkut kepentingan kedua umat
tersebut, Nasir mengakui selalu mengedepankan komunikasi yang penuh rasa
kekeluargaan dan persaudaraan. Semisal, akan melakukan Salat Ied pada
hari raya, pihaknya selalu meminta izin kepada pihak GKJ Joyodiningratan
untuk meminjam halaman depan gereja untuk dijadikan sebagai tempat
salat. Sebab, bangunan masjid terlalu kecil untuk menampung umat muslim.
“Sebelum
melakukan Salat Ied, sekitar pukul 05.30 WIB jemaat gereja dengan
remaja masjid berbaur ikut membersihkan jalan dan halaman yang akan
menjadi tempat salat,” ujarnya.
Saat Idul Fitri jatuh pada hari
Minggu, seperti dikatakan Pendeta Herdjanto, pihaknya akan menghilangkan
jadwal kebaktian pagi pukul 06.30 WIB. Padahal, setiap Minggu dalam
satu hari terdapat empat jadwal kebaktian, yakni pukul 06.30,
08.30,14.30, 18.30 WIB. “Tetapi untuk menghormati saudara muslim yang
Salat Ied di depan gereja maka kami meniadakan jadwal kebaktian yang
pagi supaya tidak menganggu kekhusyukan saudara kita yang sedang
melaksanakan salat,” kata dia.
Pun demikian saat umat Kristiani
melaksanakan kebaktian setiap hari Minggu, jemaat gereja tersebut juga
parkir di depan masjid. Yang menjaga kendaraan mereka adalah remaja
masjid. “Ini dilakukan supaya saudara kita yang Kristiani tenang dan
khusyuk selama mengikuti kebaktian. Karena kendaraannya ditunggu remaja
masjid,” tutur Nasir.
Bahkan, keberadaan pengeras suara masjid yang terletak tepat diatas kantor gereja juga tidak dipermasalahkan. “Tidak ada complain sama sekali. Suara adzan itu memang keras, ya memang fungsinya untuk panggilan salat bagi kaum muslim," ucap pendeta.
Sebaliknya
saat kalangan jemaat gereja melakukan peribadatan pada misa Natal,
lanjut dia, pihak pengurus masjid juga tahu diri. Kalau biasanya sebelum
adzan didahului dengan membaca Alquran dengan pengeras suara selama 10
menit, namun untuk menghormati peribadatan umat Kristiani, pembacaan
Alquran itu ditiadakan.
“Jika berbarengan dengan Natal, kami
meniadakan bacaan Alquran sebelum adzan supaya tidak menggangu
peribadatan umat Kristiani. Ini merupakan cara untuk menghormati
mereka,” tegas Nasir.
Terkenal hingga luar negeri
Sikap
toleransi yang terjalin di kawasan tersebut kabarnya menyebar ke
seluruh dunia. Banyak orang asing yang berkunjung. Selain ingin melihat
dari dekat, merea juga ingin mengetahui kunci kerukunan yang terjadi
antara umat beragama tersebut. Bahkan, dua pekan lalu mendapatkan
kunjungan special dari kalangan tokoh agama Eropa.
“Biasanya
mereka yang studi banding ke sini menanyakan mengenai berdirinya gereja
dan masjid. Saya selalu bilang, gereja lebih dulu berdiri. Kenapa masjid
bisa berdiri karena ada kesepakatan dari para pendahulu kita. Silakan
membangun masjid bersinggungan, bersampingan dan bergadengan dengan
gereja. Dan momentum ini disertai dengan pendirian tugu yang artinya
tidak akan ada perbedaan dan permusuhan sampai nanti. Jadi ke depannya
insya Allah tetap aman,” harap Nasir.
Prinsip kehidupan yang
penuh dengan toleransi tersebut, dikatakan Nasir, akan selalu
ditularkan kepada generasi muda di daerah tersebut.
Lantas, ia
pun menegaskan bahwa baik dari phak gereja maupun masjid sangat menjaga
betul arti pentingnya kedamaian, persaudaraan dan persatuan. “Kami
memang menjaga betul persatuan. Tetapi kalau mengenai agama tidak bisa
bercampur, sendiri-sendiri. Dan dalam masalah itu ada pelajaran dari
Allah bahwa Islam menjunjung tinggi toleransi, lakum dinukum waliyadin,” ucapnya.
sumber : VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar